translator

Selasa, 02 November 2010

Tata Surya Baru

Para astronom menemukan sebuah sistem tata surya baru yang cukup besar, terdiri dari tujuh buah planet yang mengorbit pada "matahari". Sistem tata surya yang baru ditemukan ini berjarak sekitar 127 tahun cahaya dari bumi.

Bintang yang menjadi induk sistem tata surya itu dikenal dengan sebutan HD 10180. Sistem planetarium ini diyakni sebagai sistem yang paling besar, yang pernah ditemukan di bawah matahari.

"..kita telah menemukan sebuah sistem tata surya yang mirip dengan sistem tata surya kita, tapi ada sejumlah planet yang belum ketahui secara pasti," kata Dr Christophe Lovis yang memimpin tim ahli dari the European southern Observatory (ESO).

Para astronom telah mengkonfirmasi keberadaan lima buah planet, dan menemukan cukup bukti tentang keberadaan dua planet lainnya. Salah satunya mirip dengan Saturnus yang beratnya paling tidak 65 kali berat bumi, dan mengorbit selama 2.200 hari. Satu planet lainnya berukuran lebih kecil sekitar 1,4 kali berat bumi.

"Planet-planet itu sangat dekat dengan bintang induknya, hanya sekitar 2 persen dari jarak bumi ke matahari. Satu tahun di planet itu sama dengan sekitar 1,18 hari di bumi." Kata Dr Lovis.

Permukaan planet itu terdiri dari gunung-gunung berbatu seperti halnya di bumi tapi suhunya mungkin terlalu panas untuk makhluk hidup. Susunan dan jarak planet-planet tersebut terhadap bintang induknya mirip dengan sisitem tata surya kita sekarang.

Para ahli astronomi mempelajari sistem tata surya ini selama enam tahun lamanya. Mereka menggunakan peralatan khusus pencari planet yang disebut HARPS spectrograph, yang dilengkapi teleskop ESO 3,6 meter, berlokasi di La Silla, Cili.

Alat tersebut mampu mendeteksi gerakan-gerakan kecil pada bintang yang disebabkan oleh tarikan grafitasi planet-planetnya.

Sejauh ini para astronom telah menemukan 15 sistem tata surya yang masing-masing terdiri atas sedikitnya tiga planet. Temuan terakhir adalah 55 Cancri yang memiliki lima buah planet.

Area Baru di Galaksi Bima Sakti

Sebuah area luas yang dibentuk oleh bintang-bintang di galaksi Bima Sakti yang sebelumnya tidak diketahui oleh para astronom kini telah diketahui dengan bantuan teleskop inframerah. Penemuan area tersebut diyakini menyediakan informasi penting bagi para astronom tentang struktur galaksi dan proses evolusi galaksi. “Area tersebut ditemukan terkonsentrasi pada bagian akhir pusat galaksi dan di bagian spiralnya. Sebuah studi terpisah juga menyatakan adanya kelimpahan gas awan hidrogen di beberapa bagian galaksi di atas sambungan spiral galaksi bagian tengah,” ungkap anggota tim penemuan tersebut, Felix J Lockman, dari Observatorium Astronomi Radio Nasional (NRAO).
Salah satu area yang ditemukan disebut area H II, tempat terionisasinya atom-atom hidrogen. Di tempat itulah juga atom-atom hidrogen terlepas dari elektron mereka akibat radiasi yang besar dari bintang-bintang muda. “Kami dapat secara jelas menghubungkan lokasi area-area tersebut ke struktur keseluruhan galaksi. Penelitian lebih lanjut memungkinkan kita untuk mengerti proses formasi bintang dan membandingkan komposisi kimianya,” papar anggota lain tim tersebut, Thomas Bania, dari Universitas Boston.
Melalui penelitian terpisah, astronom juga menemukan adanya awan hidrogen yang sangat banyak di galaksi Bima Sakti. Awan-awan tersebut diyakini dapat membantu para astronom mengerti proses evolusi galaksi. “Sifat dari awan tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa mereka berasal dari cakram Bima Sakti. Awan-awan tersebut merupakan komponen utama dari galaksi kita. Memahami awan tersebut penting untuk memahami bagaimana materi bergerak antara cakram dan halo galaksi yang merupakan proses kritis dalam evolusi galaksi,” ungkap Lockman kembali.
Penemuan awan hidrogen tersebut juga sebuah kejutan bagi para peneliti karena kebesaran dan kepadatannya. Awan tersebut memiliki massa rata-rata sekitar 700 kali massa matahari. Ukurannya pun sangat bervariasi. Kebanyakan sekitar seluas 200 tahun cahaya.

Penemuan Planet Baru

Para ahli astronomi melaporkan ditemukannya planet yang mungkin paling mirip bumi di sekitar tata surya. Planet itu lebih besar daripada bumi, tetapi para ilmuwan mengatakan, teknik mereka cukup canggih untuk mengidentifikasi lebih banyak planet yang besarnya hampir sama dengan bumi.

Sejak pertengahan tahun 1990an, para ahli astronomi telah menemukan lebih dari 170 planet yang mengorbit bintang-bintang di luar tata surya kita. Tetapi planet terbaru yang ditemukan di pusat bimasakti kita ini berbeda, dan membuat para pakar yakin bahwa mungkin banyak bumi lain di luar sana.

Sebegitu jauh, sebagian besar planet yang ditemukan di sekitar bintang yang normal adalah planet raksasa berisi gas seperti Saturnus dan Jupiter, beberapa planet sebesar bumi yang diduga berbatu-batu telah ditemukan, tetapi mereka mengorbit bintang-bintang mati yang disebut bintang neutron. Sebegitu jauh, hanya satu planet berbatu yang ditemukan mengorbit bintang biasa, tetapi besarnya tujuh setengah kali lebih besar daripada bumi. Dan lagi, semua planet yang ditemukan belum lama ini letaknya terlalu dekat dengan bintang untuk dapat dihuni kehidupan.

Planet terbaru yang diidentifikasi di luar tata surya kita itu lebih mirip dengan bumi. Ke-73 ilmuwan di 10 negara yang melacaknya memperkirakan bahwa besarnya hanya lima setengah kali bumi, dan letaknya lebih jauh dari bintang dibandingkan planet-planet lain, yaitu dua setengah kali jarak bumi dari matahari.

Salah satu penemu planet itu, David Bennett dari Universitas Notre Dame di Indiana mengatakan, itu berarti bahwa letaknya di luar zone yang dapat dihunin kehidupan, karena suhu permukannya 220 derajat di bawah nol Celcius. Namun, katanya, ini lebih menarik daripada planet-planet yang bersuhu tinggi di luar tata surya kita.

Pada dasarnya, tambah David Bennet, “Kami menyatakan telah membuka sebuah jendela baru, dan kami mendekati planet-planet yang mirip bumi, meskipun kami lebih memperhatikan planet-planet yang suhunya lebih rendah daripada bumi.”

Penemuan ini melibatkan sebuah teknik pencarian baru yang berbeda dengan yang digunakan untuk menemukan planet-planet lain. Cara lama tidak melihat langsung planet, tetapi memperkirakan kehadirannya dengan mengamati olengan bintang, yang diakibatkan oleh gravitasi planet yang mengorbit. Prosedur ini cenderung menemukan planet-planet yang terbesar, terpanas dan terdekat dengan bintang sehingga tidak dapat mendukung kehidupan.

Cara baru itu menggunakan fenomena alam yang disebut microlensing. Dengan teknik ini, cahaya dari bintang yang jauh diperbesar oleh gravitasi bintang di dekatnya, seperti cahaya lampu sorot yang melewati kaca pembesar. Kalau suatu planet mengorbit bintang yang ada di latar belakang, gravitasinya dapat meningkatkan kecerahan cahanya.

Pakar astronomi Prancis Jean Pierre Beaulieu dari Lembaga Astrofisika di Paris terkejut melihat besarnya peningkatan kecerahan cahaya ini: “Tadinya kami duga bahwa bintang ini lebih pudar daripada yang kami amati. Jadi kami memutuskan untuk melakukan pengukuran lagi, dan pada pengukurna kedua, bintang ini lebih terang. Kami sangat bersemangat karena inilah yang sudah kami cari sejak lama.”

Para periset mengatakan, kelebihan microlensing adalah teknik itu dapat mendeteksi planet-planet bermassa rendah. Tentu saja teknik ini dapat mengamati bintang-bintang besar seperti Jupiter secara lebih mudah, tetapi sebegitu jauh baru menemukan dua. David Bennett mengatakan, kalau bintang-bintang besar jumlahnya lebih banyak di alam semesta, microlensing tentunya akan menemukan lebih banyak lagi. David Bennett dan rekan-rekannya yang melaporkan penemuan ini dalam jurnal Nature mengatakan, microlensing kemungkinan besar akan menemukan planet-planet bermassa rendah lebih banyak, dalam bulan-bulan mendatang.

Michael Turner dari Yayasan Sains Nasional Amerika yang membantu pendanaan riset ini mengatakan, penemuan ini adalah terobosan penting dalam usaha menemukan jawaban atas pertanyaan “Apakah ada mahluk lain di alam semesta ini, selain di bumi?.”

Dengan ditemukannya lebih dari 170 planet di luar tata surya selama 11 tahun terakhir ini, tambahnya, petualangan untuk mencari jawaban atas pertanyaan itu telah dimulai.

Senin, 01 November 2010

Asal-mula Tata Surya

Pada mulanya, Tata Surya hanya berupa sebentuk piringan berisi awan debu dan gas panas, yakni Nebula Matahari. Saat gas di tepi nebula mulai mendingin, material awal mulai berkondensasi menjadi partikel padat yang kaya elemen kalsium dan alumunium. Dan ketika gas kemudian mendingin, material lainnya pun mulai berkondensasi. Partikel padat dari berbagai tipe kemudian mulai menyatu membentuk batuan komet, asteroid, dan juga planet.Tapi, apa yang sesungguhnya terjadi di masa lalu, saat Tata Surya terbentuk? Saat itu belum ada saksi hidup yang bisa menyaksikan peristiwa bersejarah tersebut. Namun, bukan berarti pembentukan Tata Surya tidak memiliki saksi sama sekali. Ada banyak saksi yang kemudian bercerita dengan caranya sendiri. Batu-batuan yang jatuh ke Bumi ternyata menyimpan segudang cerita dan informasi dari masa lalu. Satu per satu misteri pun terkuak. Pengamatan dan misi yang dikirimkan membawa pulang cerita masa lalu Tata Surya.Kali ini, satu cerita kembali terkuak dengan ditemukannya 3 buah asteroid yang sekaligus merupakan 3 objek tertua yang ada di dalam Tata Surya. Bukti tersebut didapatkan dari data pengamatan pada cahaya tampak dan inframerah dengan teleskop di Mauna Kea, Hawaii. Ketiga asteroid kuno tersebut tidak mengalami perubahan berarti semenjak terbentuk sekitar 4.55 miliar tahun lalu, dan mereka pun jauh lebih tua daripada meteorit tertua yang pernah ditemukan di Bumi. Hasil identifikasi terhadap ketiga asteroid ini menunjukkan bahwa ketiganya belum pernah ditemukan sebelumnya, dengan skala waktu pembentukan pada periode awal pembentukan Tata Surya. Karena itu, akan sangat menarik untuk menempatkan ketiga asteroid ini untuk menjadi kandidat misi ruang angkasa di masa depan. Diharapkan, misi tersebut akan dapat mengumpulkan dan membawa pulang contoh dari asteroid tersebut ke Bumi untuk diteliti. Dengan demikian, kita akan dapat memahami lebih jauh proses pembentukan Tata Surya pada beberapa juta tahun pertama.

Bagi para astronom, setidaknya sebagian asteroid tertua yang ada di Tata Surya harus kaya akan kalsium dan alumunium. Namun, sampai saat ini, asteroid dengan kandungan seperti itu belum ditemukan. Meteorit yang ditemukan di Bumi memang mengandung sejumlah kecil materi yang terkondensasi di awal pembentukan. Pada meteorit yang ditemukan, materi kuno berwarna putih terang yang dikenal sebagai calcium, alumunium- rich inclusions (CAIs), dengan diameter sebesar 1 cm. CAIs juga digunakan untuk menentukan umur Tata Surya.

Meteorit Allende. Kredit Gambar : The Center of meteorite Studies, Arizona States Universities.
Jatuhnya meteorit Allende tahun 1969 menandai revolusi dalam studi Tata Surya dini. Saat itulah, untuk pertama kalinya, para ilmuwan bisa mengenali materi CAIs yang berwarna putih tersebut. Materi yang ditemukan dalam meteorit tersebut sesuai dengan berbagai parameter yang diperkirakan ada pada saat Tata Surya dini berkondensasi.

Sangat menakjubkan, karena ternyata butuh waktu 39 tahun hingga manusia bisa mengumpulkan spektrum objek CAIs. dan ternyata spektrum yang didapat justru membawa kita pada asteroid yang menjadi saksi sejarah pembentukan Tata Surya pada tahap paling awal.

Tim peneliti yang terdiri dari Jessica Sunshine dari Universitas Marryland; Tim McCoy, kurator dari The National Meteorite Collection di Smithsonian’s National Museum of Natural History; Harold Connolly, Jr dari City University, New York; Bobby Bus dari Institute for Astronomy, University of Hawaii; Hilo dan Lauren La Croix dari Smithsonian Institutio, menggunakan instrumen SpeX pada NASA Infrared Telescope Facility di Hawaii untuk mengamati permukaan asteroid sebagai bukti keberadaan sedikit batuan bertemperatur tinggi yang ada pada awal Tata Surya. Secara umum, tim ini mencari jejak spektrum yang mengindikasikan keberadaan CAIs. Namun, karena setiap mineral yang berbeda memiliki warna pantulan yang berbeda, maka spektrum atau warna yang dipantulkan dari permukaan akan dapat mengungkap informasi komposisi pembentuknya untuk dianalisis lebih lanjut.

Perbandingan yang dilakukan antara asteroid yang ditemukan dengan koleksi meteorit dari Smithsonian’s National Museum of Natural History menunjukan kekayaan CAIs pada asteroid yang ditemukan ternyata 2 hingga 3 kali lebih banyak daripada materi di meteorit yang sudah ditemukan. Dengan demikian, bisa disimpulkan jika ternyata asteroid kuno masih ada yang selamat hingga saat ini. Dan kita tahu di mana mereka berada sekarang.